wanita memang lebih identik dengan keindahan. Kaum pria mengagumi banyak hal tentang wanita. Namun di balik keindahan itu, banyak beban dan derita yang dialami kaum wanita. Bekerja rangkap: mengurus rumah tangga, bekerja di luar rumah untuk menopang ekonomi keluarga, dan aktivitas lain yang bias menguras tenaga dan pikirannya. Tingkat kesehatan wanita Indonesia disinyalir masih cukup rendah. Emosi, tekanan fisik dan mental lantaran kondisi ekonomi keluarga yang buruk semakin membuat kaum wanita menjadi gampang terserang stress dan depresi. Wanita pun lebih mudah sedih dan kehilangan sesuatu yang dicintainya ketimbang pria. "semakin besar ikatan emosi wanita terhadap sesuatu, semakin besar kecenderungannya mengalami depresi," kata Heather A. Turner, professor ilmu social di University of New Hampshire, Durham. Secara psikomatematis diakui, wanita memang lebih rentan mengalami depresi, 2,5 kali lebih besar ketimbang pria. Sebabnya antara lain karena tingginya ikatan emosi mereka terhadap orang lain dan lingkungannya. Seperti diungkapkan dalam journal of Health and Social Behavior, wanita memang lebih cepat memainkan perasaanya dan lebih mudah merasa kehilangan terhadap sesuatu. Apalagi sesuatu itu yang dicintainya. Wanita yang memiliki pendidikan tinggi pun demikian, meskipun tak tampak secara kasat mata, karena sepertinya "ditutup-tutupi", atau tertutup oleh keindahan luar yang nampak anggun? Yang terlihat jelas adalah bahwa tingkat kesehatan kaum wanita memang masih rendah. Menurut Dr. Kartono Muhammad, meski kesadaran akan kesehatan relative tinggi, secara umum tingkat kesehatan wanita di Indonesia masih cukup rendah. Mereka yang tampaknya tak memiliki keluhan apa-apa, belum tentu sehat. "Sulit sekali mengatakan apakah wanita dan ibu Indonesia kini lebih sehat," kata Kartono. Secara biologis saja, wanita memang mengalami masalah kesehatan reproduksi, seperti kehamilan, persalaian, menyusui, dan sejenisnya. Wanita juga rentan terkena infeksi pada saluran reproduksi. Belum lagi soal tekanan mental akibat masalah ekonomi yang sulit. Ini jelas bias mempengaruhi kesehatan kaum wanita. Dalam soal program keluarga berencana (KB) misalnya, wanita jelas lebih berat menganggung resiko. Dari data akseptor, peserta KB pria jauh lebih sedikit disbanding wanita. Cuma sekitar 1,3 persen dari jumlah keseluruhan akseptor di Indonesia. Sekitar 0,7 persennya melalui Medis Operasi Pria (MOP) dan 0,6 persennya menggunakan kondom. Sementara untuk wanita, berbagai jenis alat KB dikembangkan sangat signifikan. Banyak sekali produk dan merek alat kontrasepsi baru yang muncul. Malah dikhawatirkan, boleh jadi wanita dijadikan obyek produk-produk baru itu, menambah tingginya resiko yang akan ditanggung oleh wanita. Dalam hubungan itulah Ketua BKKBN, Dr. Soemarjati Arjoso, menganjurkan adanya infored choice dan informed consent. Yang pertama, merupakan hak para akseptor KB untuk memilih jenis KB yang sesuai bagi dirinya, itu pun seharusnya berdasarkan kecocokan, baik dari efek sampingnya, maupun kenyamanan bagi dirinya sendiri. Persoalan KB ini pun sesungguhnya bukanhanya persoalan kaumibu atau wanita, tapi juag pasangannya. Suami harus mengetahui jenis KB apa yang digunakan isterinya sehingga ia pun turut terlibat dan bertanggung jawab. Itulah yang dimaksud dengan informed consent dimana pasangan suami-isteri menyatakan peretujuannya untuk pemasangan jenis KB tertentu. Informed consent ini berlaku juga untuk jenis KB seperti IUD, Medis Operasi Pria (MOP) dan Medis Operasi Wanita (MOW). Tujuannya adalah aga KB juga merupakan urusan pria. Namun menurut Dr. Sartono Muhammad, kepentingan dan hak pasien dalam hal KB kini tak diperhatikan lagi. Makanya ia menyarankan agar saran BKKBN berkaitan dengan pernyataan persetujuan kedua belah pihak untuk ber-KB (informed consent) ditiadakan. Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran informed consent itu disalahgunakan. Justru dalam konteks itulah Dr. Soemarjati Arjoso menegaskan, masalah KB dan kesehatan wanita memang merupakan tanggung jawab bersama pasangan suami-isteri. Menurut dia, semua pihak pun harus mengatasi permasalahan ini. Angka Kematian Ibu Pada sisi lain, angka kematian ibu (AKI) bersalin masih tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Gulardi dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Karena itu perhatian perlu ditingkatkan pada persoalan ibu. Kaitannya sangat erat dengan kependudukan dan kondisi social ekonomi atau kemiskinan di masyarakat, katanya. berdasarkan data yang ada, AKI saat melahirkan di Indonesia masih terbilang tinggi. Bahkan tertinggi di Asia Tenggara. AKI di Indonesia 8,5 kali lebih besar ketimbang AKI di Thailand. Pada tahun 2002 misalnya, terdapat angka AKI dalam proes persalinan 391 per 10.000 ini meningkat dari tahun sebelumnya. (373 per 10.000). Kaum wanita juga disinyalir banyak yang menderita anemia (kekurangan darah). Ada sinyalemen yang menyatakan bahwa kemungkinan sekitar 60 persen wanita usia wanita produktif di Indonesia mengidap penyakit anemia. Pernyataan itu memang tidak terlalu mengherankan. Karena di dunia menurut beberapa hasil penelitian, 1 di antara 6 orang mengalami anemia. Wanita yang menggunakan KB IUD pun tak lepas dari "hantu" anemia. Sebuah penelitian menyebutkan 10 persen wanita pada masa reproduksinya mengalami defisiansi zat besi dan 2-5 persen diantaranya menaglaami anemia. Resiko wanita yang melahirkan anak kembar juga sangat besar, mencapai 27 persen. Setelah melahirkan dan mengalami pendarahn, sekitar 5-10 persennya akan mengalami anemia. Juga, menurut catatan Depkes RI, 9 dari 10 ibu hamil di Indonesia menderita anemia dan 30 persen kematian saat melhirkan disebabkan karena anemia. Kalau diamati pola makan pada kelompok masyarakat tertentu, anak perempuan lebih sdikit mendapat jatah makannya ketimbang anak laki-laki. Atau terkadang anak perempuan memang lebih sedikit makannya. Wanita boleh dibilang "kurang rakus". Akibatnya wajar kalu anak perempuan kekurangan nutrisi, sehingga mereka kekurangan energi dan mengalami anemia. Demikian juga dalam soal pendidikan. Bagian besar masyarakat pedesaan masih "membatasi" anak perempuan dalam mengenyam pendidikan. Sehingga kesadaran dan pengetahuan anak perempuan terhadap kesehatan menjadi lebih minim ketimbang anak laki-laki. Itulah yang menyebabkan kalau kemampuan wanita untuk hidup sehat menjadi rendah. Namun pada sisi lain, dalam kehidupan keluarga banyak wanita dituntut bekerja ekstra. Selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga, wanita harus pula melakukan pekerjaan yang sifatnya menopang ekonomi keluarga, sehingga mereka menghadapi beban ganda (double burden), baik lantaran terpaksa atau karena memang sudah merupakan "kesenangan" wanita itu sendiri. Belum lagi soal pencegahan atau perlindungan kaum wanita terhadap penyakit HIV/AIDS. Posisi wanita lebih rentan, lantaran mereka umumnya tak mampu mengontrol dan menuntut "hubungan" sehat. Misalnya lelaki (suami) memakai kondom. Karena itulah sekitar 5 % wanita yang memeriksakan diri ke klinik disinyalir terjangkit penyakit menular seperti HIV/AIDS. Dan HIV/AIDS sepertinya lebih akrab dengan wanita. Wanita memang menyandang sejumlah keindahan. Tapi di balik keindahan tersebut, tersimpan "nasib" yang masih kurang menguntungkan bagi wanita Indosesia. Pernahkah hal ini terpikirkan oleh kita semua?. Rudyanto Arief.
No comments:
Post a Comment